Hingar bingar pesta demokrasi mulai dari pilpres,
pileg,pilkada bahkan pilkades tak jarang menyisakan konflik yang
berkepanjangan. Hal ini tidak lepas dari faktor kepentingan masing masing pihak
yang saling memperebutkan kekuasaan. Adanya indikasi kecurangan selama proses
pemilihan sering menjadi dalih untuk mempertanyakan keabsahan hasil pemilihan
tentunya oleh mereka yang belum bisa menerima kekalahan calon yang diusungnya.
Entah ada tidaknya kecurangan itu tetapi fakta yang ada menunjukan bahwa
keberlangsungan pesta demokrasi bangsa kita masih diliputi oleh berbagai
persoalan. Hal ini wajar ketika ajang demokrasi untuk memilih pemimpin yang
sejatinya hanya akan menjadi “pelayan masyarakat atau rakyat” ini telah
diwarnai dengan berbagai intrik dan cara cara yang manipulatif entah dengan black campaign, bagi bagi uang (money politik) atau politik dagang sapi
dengan saling jual beli kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bagi
seorang yang akan maju mencalonkan diri sebagai pemimpin dalam ajang pesta
demokrasi itu harus memiliki modal (finansial-Red.)yang tidak sedikit. Hal inilah yang kadang menimbulkan
ketidaksiapan dari setiap calon yang kalah, dimana banyaknya anggaran yang
sudah dikeluarkan menjadikan mereka menanggung beban tidak hanya secara materi
tetapi juga secara psikologis. Disisi lain, masyarakat yang nota bene menjadi
pemilih yang akan memberikan hak suaranya dikarenakan lemahnya pemahaman
tentang pentingnya keberlangsungan demokrasi di Indonesia justru memilih untuk
bersikap pragmatis. Hal ini bukan tanpa alasan, ketidak percayaan mereka
terhadap calon yang ada yang kebanyakan hanya melakukan pencitraan dan
mengumbar janji janji kosong menjadikan mereka apatis untuk menentukan
pilihanya . Mereka tidak lagi memilih bukan berdasar hati nurani tetapi lebih
kepada siapa yang akan memberikan keuntungan finansial lebih banyak. Rakyat
seakan tidak lagi memilih yang benar tetapi memilih siapa yang bayar, begitulah
kira kira sindiran yang tepat diberikan pada masyarakat yang hanya memanfaatkan
ajang ini sebatas mencari keuntungan sesaat. Alhasil, kekecewaan publik atas
kinerja para pemimpin yang terpilih terpaksa harus mereka terima karena sekali
lagi faktor integritas dan kapabilittas seorang pemimpin sudah tidak lagi
menjadi pertimbangan. Masyarakat seakan
sudah muak dengan perilaku para pemimpin kita hari ini yang kenyataanya justru
menyengsarakan rakyat dengan hanya mementingkan perutnya sendiri. Banyak
pejabat yang melakukan praktek korupsi, berlaku tidak adil, mengingkari janji
dan tindakan lain yang menyakiti hati rakyat kecil. Secara tidak langsung, para
pemimpin kita telah mengajarkan bagaimana jabatan sebagai seorang pemimpin
hanya dijadikan lahan untuk mencari keuntungan,meningkatkan taraf hidup untuk
kepentingan pribadi dan keluarga tanpa peduli lagi dengan keadaan sekitarnya. Begitulah
ketika masyarakat telah memilih untuk bersikap pragmatis mencari keuntungan
sesaat dengan memanfaatkan moment pesta demokrasi. Bisa jadi kesempatan seperti
ini justru dimanfaatkan untuk ajang pembalasan oleh masyarakat manakala para
pemimpin yang kemarin telah mereka dukung mati matian ternyata tak lagi
memperhatikan dan lupa akan semua janji janjinya. Maka bukan tidak mungkin, untuk
saat ini karena tidak ingin kecewa untuk kedua kalinya mereka akan melakukan
transaksi dengan cara jual beli suara kepada para calon, sehingga ungkapan wani piro? Akan menjadi senjata untuk menawarkan dukunganya.
Meskipun demikian belum tentu nantinya setelah transaksi disepakati mereka
tetap juga tak memberikan dukungan, karena yang penting uang telah tergenggam
di tangan, persoalan siapa yang akan dia pilih itu rahasia, siapa yang tahu?
Kalau sudah seperti ini maka kedewasaan dalam memahami realita politik di
negara kita khususnya dalam keberlangsungan demokrasi tidak akan pernah
mengalami kemajuan, karena semuanya telah diukur dan ditentukan oleh hal hal
yang berbau materi.
Pesta
Demokrasi dan Kontribusi Mahasiswa
Lantas bagaimana dengan mahasiswa yang biasanya memilki
idealisme yang tinggi dan mampu mempertimbangkan pilihanya berdasarkan logika.
Pendidikan politik yang didapat entah sedikit atau banyak dalam ranah akademik
atau pergaulanya di dunia kampus pastinya cukup bisa menjadi bekal bagaimana
menentukan pilihanya secara bijak. Meski tidak sedikit juga mahasiswa yang juga ikut larut dalam pola pikir yang pragmatis
karena bagaimanapun mahasiswa juga memiliki alasan yang tidak jauh beda dengan
mereka yang merasa kecewa dengan kondisi yang ada. Tetapi akan sangat naif jika
mahasiswa yang katanya memiliki wawasan lebih dibanding masyarakat awam justru
ikut ikutan untuk mencari keuntungan sesaat. Seharusnya mahasiswa dengan
kemampuan analisa dan kepekaanya mampu dan mau untuk mengajarkan politik yang
sehat bagi masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan menjadi paham dan tidak
sembarangan menggunakan hak suaranya dengan menjajakan pada orang yang tidak
pantas untuk dipilih. Masyarakat harus senantiasa diberi pemahaman bagaimana
pentingya suara bagi keberlangsungan nasib bangsa selanjutnya. Di samping itu
kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam ajang pesta demokrasi dengan
cara yang baik turut menentukan sukses tidaknya pemilihan itu digelar. Berbagai
peristiwa kerusuhan yang disebabkan oleh persoalan carut marut Pilkada yang
terjadi di beberapa daerah akhir akhir ini membuktikan betapa masyarakat masih
belum dewasa dalam menyikapi persoalan terkait pilkada. Belum lagi persoalan
dalam pesta demokrasi yang lain, maka sudah sepantasnya mahasiswa yang bisa
diharapkan peran dan kapasitasnya selaku agen perubahan mau berpartisipasi
aktif untuk mensukseskan pemilu yang damai.
Menjelang pilgub jateng tahun 2013 yang sudah
diambang pintu ini hendaknya para mahasiswa dengan kemampuannya membaca situasi
dan memiliki idealisme yang tidak perlu dipertanyakan lagi bisa ikut
berkontribusi minimal bisa menjadi bagian dari pemilih yang cerdas sehingga
tidak mudah tergoda oleh segala bentuk iming
iming yang ditawarkan demi mencari keuntungan sesaat. Hanya pemilih cerdas
yang bisa memilih pemimpin yang berkualitas, maka pilihan para mahasiswa
seharusnya bisa menjadi tolak ukur bagaimana memilih pemimpin yang benar benar
memiliki kapabilitas selama pilihanya itu murni berdasar hati nuraninya. Akan
lebih baik lagi dan memang seharusnya jika mahasisa ikut terlibat memantau
jalanya proses pilkada. Terlebih lagi para aktivis pergerakan semacam PMII yang
tentunya sudah cukup memiliki pengetahuan tak terkecuali di ranah politik,
sekalipun itu masih berupa wacana wacana yang sering mereka perbincangkan dalam
forum diskusi. Tetapi minimal pembacaan akan situasi yang mengiringi proses
dari pesta demokrasi ini kuat paling tidak bisa mengidentifikasi bentuk bentuk
kecurangan yang terjadi untuk selanjutnya mengakomodir kekuatan untuk mencegah
setiap bentuk kecurangan yang ada. Bukankah kita semua menghendaki agar pilkada
terutama di Jawa Tengah ini bisa berjalan dengan tertib dan damai dan tidak
menyisakan konflik? Maka dari itu marilah selaku mahasiswa harus bisa berperan
aktif dalam membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menentukan
pilihan sesuai dengan hati nurani dan menghindari sikap pragmatisme agar
tercapai tatanan kehidupan bangsa yang maju,
damai dan sejahtera.
SALAM PERGERAKAN!!!
(Gabriel)