(Ceramah Gus Mus
Sesudah Tahlilan Mbah Zainal)
Malam ini kita
membacakan tahlil dan mendoakan almarhum KH. Zainal Abidin Munawwir. Kita itu
koyok yo yo’o. Potongane (gayanya) seperti saya dan panjenengan,
berani-beraninya mendoakan Kiai Zainal. Ya, kita semua sesungguhnya hanya
mengharap barokah dari beliau.
Meski saya bukan
wali, tapi saya meyakini Kiai Zainal itu adalah wali. Karena seperti terdapat
dalam al-Qur`an, ciri wali itu tidak punya rasa takut dan tidak punya susah.
Lha saya belum pernah tahu Kiai Zainal itu punya rasa takut dan susah.
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
(Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.)
Sebenarnya
panjenengan itu juga bisa jadi wali, wong panjenengan sudah memiliki salah satu
syaratnya. Padahal syarat menjadi wali cuma dua. Panjenengan semua sudah punya
satu, yaitu mengakui bahwa Gusti Pangeran itu hanyalah Allah Ta’ala.
إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ، ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلاَ
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
(Sesungguhnya orang2 yang
mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap
istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula)
berduka cita.)
Jadi syarat yang
pertama, menyatakan bahwa Tuhannya adalah Allah (قالوا ربنا الله),
yang kedua adalah istiqomah (ثم استقاموا). Untuk jadi wali seperti Kiai Zainal, panjenengan kurang satu
syarat saja, yaitu istiqomah. Syarat istiqomah ini memang yang paling sulit.
Panjenengan menyaksikan sendiri bagaimana Kiai Zainal dalam keadaan gerah masih
berangkat ngimami di masjid dan tetap memikirkan santri. Sementara banyak orang
yang mau sholat, tapi jarang yang sholatnya bisa istiqomah; orang yang mau
mengajar juga banyak, tapi yang mengajar dengan istiqomah itu jarang; banyak yang
bisa memperhatikan anaknya orang, tapi yang memperhatikan anak orang secara
terus-menerus itu sedikit sekali. Istiqomah itu yang berat.
Saya itu ada gunung
meletus tidak begitu kaget, meskipun abunya sampai Jogja. Tapi saya kaget
mendengar kiai2 wafat, Kiai Sahal Mahfudz kemudian menyusul Kiai Zainal. Gusti
Allah itu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, bila
mengambil ilmuNya, tidak dengan cara mencabut ilmu itu dari dada para ulama (إن الله لا يَنْتَزِعُ العلم انتزاعا من صدور العلماء), akan tetapi (بقبض العلماء)
Allah mengambil ilmuNya dengan cara mewafatkan ulama: Kiai Munawwir dipundut
nyawanya, sekaligus diambil ilmunya; Kiai Abdullah dipundut beserta ilmunya;
Kiai Abdul Qodir dipundut beserta ilmunya; Kiai Ali Maksum dipundut beserta
ilmunya; Kiai Warsun dipundut beserta ilmya; Kiai Zainal dipundut beserta
ilmunya…
حتى إذا لم يَبْقَ عالم، وفي رواية: حتى إذا لم يُبْقِ عالما، اتخذ الناس
رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا – أو كما قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم
Kalau kiai2 sudah
pada diambil, orang2 bingung harus bertanya kepada siapa. Mereka kemudian
bertanya kepada orang sembarangan: pokoknya asal orang pakai sorban; asal
jenggotan; asal jubahan; dipanggil kiai; dipanggil ustadz; pasti akan ditanya…
(فأفتوا بغير علم) maka mereka menjawab tanpa ilmu, (فضلوا وأضلوا)
jadinya mereka sesat dan menyesatkan orang lain. Ini semua sekarang sudah
kelihatan tanda2nya: banyak mufti jadi2an, yang ditanya apa saja bisa menjawab.
Padahal yang begitu itu tanda2nya gebleq, bukan tanda orang yang alim. Tandanya
orang bodoh itu adalah bila ditanya apa saja, bisa menjawab. Ditanya:
“Bagaimana hukumnya ayam yang ketabrak mobil, ustadz?”
“Itu ayamnya masih
hangat apa tidak?”
“Masih agak hangat,
ustadz”
“Kalau masih agak hangat
berarti agak halal…”
Sampeyan kalau mau
tahu silahkan buka televisi... Ukuran jawabannya asal bisa dinalar saja…
Ada juga dikatakan: (موت العالِم موت العالَم). Pada masa ini yang sulit itu adalah mencari contoh (:
teladan). Islam itu kekurangan contoh. Oleh sebab itu wajah Islam kelihatan
jelek, karena kurang contoh. Yang dijadikan contoh yang jelek2. Sampeyan lihat
Youtube, ada bocah edan pakai jubah, menginjak kepala… Yang begini ini yang
merusak. Kalau ditanya: bagaimana baiknya, maka jawabnya: baiknya mandeg saja,
gak usah lagi… Ini merusak Islam. Orang Islam saja melihatnya jijik dan muak,
apalagi orang lain... Ustadze wae nggono opo maneh santrine…
Lha di (Krapyak) sini
ini sudah banyak contoh. Ada Kiai Abdul Qodir, ada Kiai Ali... Kalau mau yang
agak ampeg, ada Kiai Zainal. Kalau mau contoh yang gampangan, ada Kiai Ali. Ada
semua contohnya. Orang itu kan macam2. Ada yang maunya ampeg, ada yang maunya
enteng. Dan yang seperti ini sudah ada sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad
shallallahu ‘alayhi wasallam. Santrinya macam2, ada yang seperti Abu Bakar, ada
yang seperti Umar. Sahabat Umar itu contoh sahabat sangat berhati2. Hingga
terhadap teman dan saudaranya sendiri saja keras, hingga Sahabat Kholid aja
dipecat (dari jabatannya sebagai Komandan Tentara). Sahabat Abu Bakar lain,
lembut. Pendekatannya berbeda. Tapi semua itu didasarkan pada rahmat dan kasih
sayang. Itu yang kemudian dilanjutkan dari sejak sahabat, tabi’in, dan para
ulama, hingga sampai kepada Mbah Hasyim Asy’ari. Beliau punya dua orang anak
buah yang berbeda: mBah Bisri yang streng dan mBah Wahab yang gampangan. Orang
NU yang sedemikian banyak akhirnya punya pilihan: yang belum bisa ikut mBah
Wahab, yang sudah bisa ikut mBah Bisri. Tapi manusia yang macam2 itu semua: yang
hati2, yang ampeg, yang gampangan, mesti dilandasi dengan kasih sayang.
Makanya kalau saya
ditanya tentang kriteria kiai itu apa, maka saya jawab: kiai itu:
الذين ينظرون إلى الأمة بعين الرحمة
Mereka ini kan hanya
meniru Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, yang beliau itu:
عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم
Jadi yang dilakukan
oleh para kiai itu hanya mencoba meniru apa yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alayhi wasallam. Tapi yang namanya meniru Kanjeng Nabi itu ya gak
mungkin bisa persis meniru semua seperti Nabi. Kalau sama persis nanti dikira
ada nabi kembar. Ada yang meniru cara peribadatannya; ada yang meniru model
perjuangannya; ada yang meniru cara dakwahnya. Meniru apa saja. Kanjeng Nabi
itu hebat dalam bidang apa saja: termasuk saat menjadi panglima.
Jadi, meskipun orang
itu pakai serban sebesar ban truk, jenggotnya puanjang hingga pusar, tapi gak
punya belas kasih kepada ummat, maka saya tidak sudi memanggilnya kiai.
Sebaliknya, meskipun orang itu tidak berpenampilan kiai, tapi punya belas kasih
kepada ummat, maka dia itu kiai.
Sama halnya bila ada
orang yang merasa pinter, dan menyatakan bahwa orang yang ber-Islam itu harus
dg merujuk langsung pada Qur`an dan Hadits. Ini orang yang juga tidak punya
belas kasih terhadap orang awam. Bagaimana mungkin, sementara dia saja tidak
becus membaca Qur`an, dan belum tentu paham dg apa yang dibacanya. Orang Arab
sendiri belum tentu paham bila membaca Qur`an secara langsung. Sampeyan
bandingkan dg kiai2 zaman dulu, seperti Imam Syafi’i dan sesudahnya, yang
mereka membuat buku2 pintar, seperti Sulam, Safinah, Taqrib... Ulama seperti
mereka itulah yang pantas mengkaji dasar al-Qur`an Hadits secara langsung.
Tidak sembarangan. Jadi orang2 awam tinggal mengikut buku2 pinter yang sudah
dibuat, daripada jika mereka disuruh melihat Qur`an sendiri, tentu akan malas
(aras-arasen). Beliau2 para ulama itulah, dengan dilandasi kasih sayang,
membantu orang awam memahami Islam.
Dengan melihat
istiqomahnya Kiai Zainal, dalam ibadah, mengajar dan membimbing santri2, paling
tidak kita bisa tahu dan mencontoh bagaimana perilaku Nabi. Kita tidak perlu
melihat Nabi secara langsung. Saya sendiri kadang nglamun, seumpama saya hidup
di masa Nabi, tentu saya merasa enak, karena tidak perlu membaca al-Qur`an,
tidak perlu belajar banyak, sebab melihat sendiri sudah ada “Qur`an berjalan”.
Jadi kalau mau perlu apa2 tinggal melihat Nabi:
bagaimana membina
persaudaraan yang baik, melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana memimpin
ummat yang baik, melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana perjodohan yang
baik, ya melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana bergaul dg
orang tua, melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana bergaul dg
anak muda, melihat Kanjeng Nabi...
Semuanya tidak perlu
membuka al-Qur`an dan tinggal melihat Kanjeng Nabi... Tapi kemudian tersirat
pikiran waras saya, ya kalau saya ditaqdirkan ikut Kanjeng Nabi. Kalau ternyata
saya ditaqdirkan ikut Abu Jahal?! Hehehe. Dah gak perlu melamun hidup di zaman
Nabi. Kita hidup sekarang di zaman akhir seperti ini juga tidak apa-apa asal
kita masih ikut dengan tuntunan Kanjeng Nabi...
Jadi semakin lama
kita itu semakin sulit mencari contoh. Kalau kita itu rajin membaca al-Qur`an,
mengerti maknanya al-Qur`an, kita gak nyari contoh itu gak papa. Kita tidak
perlu banyak contoh bila kita sudah rajin membaca al-Qur`an dan mengetahui
makna al-Qur`an. Tapi yang terjadi kan, kita itu gak punya contoh..., membaca al-Qur`an
juga hanya ketika Bulan Romadlan... itu saja bacanya cepet2.
Kenapa kalau membeli
televisi atau sepeda motor kita tidak perlu membaca buku panduannya. Padahal
membeli barang2 seperti itu pasti ada buku tebal sebagai panduannya: kalau mau
menghidupkan, tekan tombol yang bertuliskan “power”; bagaimana caranya memindah
channel... Tapi saya yakin, panjenengan itu beli tivi atau motor itu tanpa
pernah membaca buku panduannya. Lha kok bisa tahu dari mana? Ya, karena
panjenengan sudah sering melihat orang menghidupkan tivi.
Demikian juga dulu
para sahabat. Meskipun tidak membaca buku panduan, tapi mereka melihat dan
meniru Kanjeng Nabi. Sesudah Kanjeng Nabi tidak ada, ya harus melihat para
sahabat sebagai murid2 Kanjeng Nabi, dan seterusnya, sebagaimana diperintahkan
oleh Kanjeng Nabi:
أصحابي كالنجوم، بأيهم اقتديتم اهتديتم
Demikian, semoga kita
semua mendapatkan barokah Kiai Zainal, menjadi orang yang sholeh…
Sumber :
fanpage Kongkow Bareng GUS DUR